Saturday 23 October 2010

SUKU ANAK DALAM DI JAMBI (SUKU KUBU)



Sejarah Suku Anak Dalam atau SAD masih penuh misteri, bahkan hingga kini tak ada yang bisa memastikan asal usul mereka. Hanya beberapa teori, dan cerita dari mulut ke mulut para keturunan yang bisa menguak sedikit sejarah mereka.
Sejarah lisan Orang Rimba selalu diturunkan para leluhur. Tengganai Ngembar, pemangku adat sekaligus warga tertua SAD yang tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi, mendapat dua versi cerita mengenai sejarah Orang Rimba dari para terdahulu. Ia memperkirakan dua versi ini punya keterkaitan.

Yang pertama, leluhur mereka adalah orang Maalau Sesat, yang meninggalkan keluarga dan lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, TNBD. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo.

Sedangkan versi kedua, penghuni rimba adalah masyarakat Pagaruyung, Sumatera Barat, yang bermigrasi mencari sumber-sumber penghidupan yang lebih baik. Diperkirakan karena kondisi keamanan tidak kondusif atau pasokan pangan tidak memadai di Pagaruyung, mereka pun menetap di hutan itu.

Versi kedua ini lebih banyak dikuatkan dari segi bahasa, karena terdapat sejumlah kesamaan antara bahasa rimba dan Minang. Orang Rimba juga menganut sistem matrilineal, sama dengan budaya Minang.
Dan yang lebih mengejutkan,
Orang Rimba mengenal Pucuk Undang Nang Delapan, terdiri atas hukum empat ke atas dan empat ke bawah, yang juga dikenal di ranah Minang.
Tentang asal usul Suku Anak Dalam adanya berbagai HIKAYAT dari penuturan lisan yang dapat ditelusuri seperti :

Cerita Buah Gelumpang,
Cerita Tambo Anak Dalam (Minangkabau),
Cerita Orang Kayu Hitam,
Cerita Seri Sumatra Tengah,
Cerita Perang Bagindo Ali,
Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya,
Cerita Turunan Ulu Besar dan Bayat,
Cerita tentang Orang Kubu.

Dari hakikat tersebut bahwa Anak Dalam berasal dari tiga turunan yaitu:

1.Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari. 2.Keturunan dari Minangkabau, umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersam (Batanghari). 3.Keturunan dari Jambi Asli yaitu Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko.

KARAKTER ORANG KUBU/ SUKU ANAK DALAM/ ORANG RIMBA
Mereka hidup bisa juga seminomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tujuannya, bisa jadi “melangun” atau pindah ketika ada warga meninggal, menghindari musuh, dan membuka ladang baru. Orang Rimba tinggal di pondok-pondok, yang disebut sesudungon (sudung), terbuat dari kayu-kayu kecil beratap daun rumbiya berukuran 1 x 1,5 meter bangunan kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal tapi kini atap itu diganti dengan terpal plastik, yang mereka peroleh saat menjual hasil perburuan mereka.



Karakter Suku Anak Dalam (orang rimba) gemar berpindah-pindah alias nomaden. "Terutama kalau ada yang meninggal dalam komunitas itu," kata Temenggung Maritua, tokoh adat Suku Anak Dalam yang diiyakan oleh Jenang Untung. Mereka percaya tempat tinggal mereka mendatangkan sial lantaran sudah mencabut salah seorang anggota keluarganya.
Namun saat ada keluarga yang meninggal, dengan melakukan tradisi melangun atau pindah dari komunitas itu setidaknya selama setahun. Kini tradisi melangun dipangkas hanya selama 4 bulan bahkan sebulan lantaran wilayah mereka yang kian sempit.
Ada satu seloko yang bisa menjelaskan tentang Orang Rimba:
Bertubuh onggok berpisang cangko beratap tikai berdinding baner melemak buah betatal minum air dari bonggol kayu.
Ada lagi: berkambing kijang berkerbau tenu bersapi ruso Mereka sehari-harinya tanpa baju, kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya hanyalah beratap rumbia dan dinding dari kayu. Cara hidup dengan makan buah-buahan di hutan, berburu, dan mengonsumsi air dari sungai yang diambil dengan bonggol kayu. Makanan mereka bukan hewan ternak, tetapi kijang, ayam hutan, dan rusa.
Identitas Orang Rimba yang tertuang lewat seloko, membedakannya dari orang terang – sebutan untuk masyarakat di desa.
Mereka membuat seloka tentang orang terang:
berpinang gayur berumah tanggo berdusun beralaman beternak angso


Susunan organisasi sosial Suku Anak Dalam

1. Tumenggung, Kepala adat/Kepala masyarakat 2. Wakil Tumenggung, Pengganti Tumenggung jika berhalangan 3. Depati, Pengawas terhadap kepemimpinan tumenggung 4. Menti, Menyidang orang secara adat/hakim 5. Mangku, Penimbang keputusan dalam sidang adat 6. Anak Dalam, Menjemput Tumenggung ke sidang adat 7. Debalang Batin, Pengawal Tumenggung 8. Tengganas/Tengganai, Pemegang keputusan tertinggi sidang adat dan dapat membatalkan keputusan.

STRUKTUR KELEMBAGAANORANG RIMBO
Tumenggung:Kades
WK Tumenggung:Sekretaris Desa
Depati:Kaur Pemeritahan
Menti:Kadus
Tengnganai:Ketua Lembaga Adat
Anak Dalam:Hansip Desa
Mangku

sebagai penghubung orang rimba dengan pihak-pihak luar
(pribadi,kelompok, instansi, lembaga dsb).
Jenang:memfasilitasi penanganan permasalahan antara sesama
orang rimba maupun dengan diluar orang rimba.
Waris:Dulur Orang Rimbo (sebagai tempat persinggahan.
Tumenggung,WK Tumenggung,Depati,Menti,Mangku:Tengnganai dan Anak Dalam.
Wilayah Persebaran Suku Anak Dalam atau orang Kubu
Daerah yang didiami oleh Suku Anak Dalam ada di kawasan Taman Nasional Bukit XII antara lain terdapat di daerah Sungai Sorenggom, Sungai Terap dan Sungai Kejasung Besar/Kecil, Sungai Makekal dan Sungai Sukalado. Nama-nama daerah tempat mereka bermukim mengacu pada anak-anak sungai yang ada di dekat permukiman mereka. Kawasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas adalah kawasan hidup Orang Rimba yang dilindungi dan ditetapkan melalui Surat Usulan Gubernur Jambi No. 522/51/1973/1984 seluas 26.800 Ha.
Secara administratif kawasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas terletak di antara lima kabupaten yaitu kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, Tebo dan Batang Hari. Kelima kabupaten tersebut saling berbatasan di punggungan Bukit Duabelas. Kawasan yang didiami oleh Orang Rimba ini secara geografis adalah kawasan yang dibatasi oleh Batang Tabir di sebelah barat, Batang Tembesi di sebelah timur, Batang Hari di sebelah utara dan Batang Merangin di sebelah selatan. Selain itu, kawasan inipun terletak di antara beberapa jalur perhubungan yaitu lintas tengah Sumatera, lintas tengah penghubung antara kota Bangko-Muara Bungo-Jambi, dan lintas timur Sumatera.

Tempat tinggal Habitat Orang Rimba.


Di kawasan Cagar Biosfir Bukit Duabelas yang merupakan wilayah tempat tinggal atau habitat Orang Rimba ini , terdapat tiga kelompok Orang Rimba yaitu kelompok Air Hitam di bagian selatan kawasan, Kejasung di bagian utara dan timur serta Makekal di bagian barat kawasan. Penamaan kelompok-kelompok tersebut disesuaikan dengan nama sungai tempat mereka tinggal.
Seperti halnya masyarakat umum, Orang Rimba juga merupakan masyarakat yang sangat tergantung dengan keberadaan sungai sebagai sumber air minum, transportasi dan penopang aktifitas kehidupan lainnya.
Orang Rimba hidup dalam kelompok kelompok kecil yang selalu menempati wilayah bantaran sungai baik di badan sungai besar ataupun di anak sungai dari hilir sampai ke hulu.

Wednesday 23 June 2010

SEJARAH JAMBI

ASAL MUASAN KOTA JAMBI


Provinsi Jambi merupakan dulunya adala wilayah Kesultanan Islam Melayu Jambi (1500-1901). Kesultanan ini memang tidak berhubungan secara langsung dengan 2 kerajaan Hindu-Budha pra-Islam. Sekitar Abad 6 – awal 7 M berdiri KERAJAAN MALAYU (Melayu Tua) terletak di Muara Tembesi (kini masuk wilayah Batanghari, Jambi). Catatan Dinasti Tang mengatakan bahwa awak Abad 7 M. dan lagi pada abad 9 M Jambi mengirim duta/utusan ke Empayar China ( Wang Gungwu 1958;74). Kerajaan ini bersaing dengan SRI WIJAYA untuk menjadi pusat perdagangan. Letak Malayu yang lebih dekat ke jalur pelayaran Selat Melaka menjadikan Sri Wijaya merasa terdesak sehingga perlu menyerang Malayu sehingga akhirnya tunduk kepada Sri Wijaya. Muaro jambi, sebuah kompleks percandian di hilir Jambi mungkin dulu bekas pusat belajar agama Budha sebagaimana catatan pendeta Cina I-Tsing yang berlayar dari India pada tahun 671. Ia belajar di Sriwijaya selama 4 tahun dan kembali pada tahun 689 bersama empat pendeta lain untuk menulis dua buku tentang ziarah Budha. Saat itulah ia tulis bahwa Kerajaan Malayu kini telah menjadi bahagian Sri Wijaya.

Masyarakat Kota Jambi merupakan bagian dari rumpun ras suku Melayu. Asal usul rumpun ras suku Melayu berasal dari India Belakang yang eksodus dengan memakai perahu bercadik menyebrang lautan dan menyusuri sungai-sungai, salah satunya adalah menyusuri sungai Batanghari yang diperkirakan terjadi pada 2000 tahun sebelum masehi (Prof. DR. Hamka,2005). India Belakang yang dimaksudkan disini terdiri dari Kamboja, Birma, Laos dan Vietnam. Eksodus gelombang kedua datang dari Cina, India dan Arab melalui Selat Malaka yang merupakan jalur transportasi strategis yang menghubungkan tiga bangsa besar tempat lahirnya agama Budha, Hindu dan Islam.

Jambi sudah dikenal sejak tahun 644/645. Dalam catatan It-sing dan Pendeta Cina bernama Wu-hing menyebut Jambi dalam catatannya dengan Moloyeu. Agama yang dianut oleh penduduknya sebagian besar adalah agama Budha aliran Hinayana. Melihat komposisi penduduk Jambi pada waktu itu beragama Budha, dapat diperkirakan rajanya berasal dari India. Sumber Arab yang dikutip oleh Al-Jahizh (’Amr Al-Bahr,783-869) menyebutkan surat dari raja Melayu bernama Sri Indraravaman (Sri Maharaja Serindrawannan) kepada Khalifah Bani Umaiyah bernama Sulaiman bin Abdul Malik tahun 653-753. Isi surat tersebut menceritakan tentang kekaguman Raja terhadap agama Islam. Ini membuktikan bahwa pada abad ke 7 Islam sudah masuk ke Jambi bahkan raja Melayu pada waktu itu sudah memeluk agama Islam (KH. Sirajuddin Abbas,2004).

Abad ke 11 M setelah Sri Wijaya mulai pudar, ibunegeri dipindahkan ke Jambi ( Wolters 1970:2 ). Inilah KERAJAAN MALAYU (Melayu Muda) atau DHARMASRAYA berdiri di Muara Jambi. Sebagai sebuah bandar yang besar, Jambi juga menghasilkan berbagai rempah-rempahan dan kayu-kayuan. Sebaliknya dari pedagang Arab, mereka membeli kapas, kain dan pedang. Dari Cina, sutera dan benang emas, sebagai bahan baku kain tenun songket ( Hirt & Rockhill 1964 ; 60-2 ). Tahun 1278 Ekspedisi Pamalayu dari Singasari di Jawa Timur menguasai kerajaan ini dan membawa serta putri dari Raja Malayu untuk dinikahkan dengan Raja Singasari. Hasil perkawinan ini adalah seorang pangeran bernama Adityawarman, yang setelah cukup umur dinobatkan sebagai Raja Malayu. Pusat kerajaan inilah yang kemudian dipindahkan oleh Adityawarman ke Pagaruyung dan menjadi raja pertama sekitar tahun 1347. Di Abad 15, Islam mulai menyebar ke Nusantara.

KESULTANAN JAMBI

“Tanah Pilih Pesako Betuah”. Seloka ini tertulis di lambang Kota Jambi hari ini. Dimana menurut orang tua-tua pemangku adat Melayu Jambi, Kononnya Tuanku Ahmad Salim dari Gujerat berlabuh di selat Berhala, Jambi dan mengislamkan orang-orang Melayu disitu, ia membangun pemerintahan baru dengan dasar Islam, bergelar Datuk Paduko Berhalo dan menikahi seorang putri dari Minangkabau bernama Putri Selaras Pinang Masak. Mereka dikurniakan Allah 4 anak, kesemuanya menjadi datuk wilayah sekitar kuala tersebut. Adapun putra bongsu yang bergelar Orang Kayo Hitam berniat untuk meluaskan wilayah hingga ke pedalaman, jika ada tuah, membangun sebuah kerajaan baru. Maka ia lalu menikahi anak dari Temenggung Merah Mato bernama Putri Mayang Mangurai. Oleh Temenggung Merah Mato, anak dan menantunya itu diberilah sepasang Angsa serta Perahu Kajang Lako. Kepada anak dan menantunya tersebut dipesankan agar menghiliri aliran Sungai Batanghari untuk mencari tempat guna mendirikan kerajaan yang baru itu dan bahwa tempat yang akan dipilih sebagai tapak kerajaan baru nanti haruslah tempat dimana sepasang Angsa bawaan tadi mahu naik ke tebing dan mupur di tempat tersebut selama dua hari dua malam.

Setelah beberapa hari menghiliri Sungai Batanghari kedua Angsa naik ke darat di sebelah hilir (Kampung Jam), kampung Tenadang namanya pada waktu itu. Dan sesuai dengan amanah mertuanya maka Orang Kayo Hitam dan istrinya Putri Mayang Mangurai beserta pengikutnya mulailah membangun kerajaan baru yang kemudian disebut "Tanah Pilih", dijadikan sebagai pusat pemerintahan kerajaannya (Kota Jambi) sekarang ini.

Asal Nama “Jambi”

‘Jambi’ berasal dari kata ‘Jambe’ dalam bahasa Jawa yang bererti ‘Pinang’. Kemungkinan besar saat Tanah Pilih dijadikan tapak pembangunan kerajaan baru, pepohonan pinang banyak tumbuh disepanjang aliran sungai Batanghari, sehingga nama itu yang dipilih oleh Orang Kayo Hitam.

“Keris Siginjai”

Hubungan Orang Kayo Hitam dengan Tanah Jawa digambarkan dalam cerita orang tuo-tuo yang mengatakan bahwa Orang Kayo Hitam pergi ke Majapahit untuk mengambil Keris bertuah, dan kelak akan menjadikannya sebagai keris pusaka Kesultanan Jambi. Keris itu dinamakan ‘Keris Siginjai’. Keris Siginjai terbuat dari bahan-bahan berupa kayu, emas, besi dan nikel. Keris Siginjai menjadi pusaka yang dimiliki secara turun temurun oleh Kesultanan Jambi. Selama 400 tahun keris Siginjai tidak hanya sekadar lambang mahkota kesultanan Jambi, tapi juga sebagai lambang pemersatu rakyat Jambi.

Sultan terakhir yang memegang benda kerajaan itu adalah Sultan Achmad Zainuddin pada awal abad ke 20. Selain keris Siginjai ada sebuah keris lagi yang dijadikan mahkota kerajaan yaitu keris Singa Marjaya yang dipakai oleh Pangeran Ratu (Putra Mahkota). Pada tahun 1903 Pangeran Ratu Martaningrat keturunan Sultan Thaha yang terakhir menyerahkan keris Singa Marjaya kepada Residen Palembang sebagai tanda penyerahan. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menyimpan Keris Siginjai dan Singa Marjaya di Museum Nasional (Gedung Gajah) di Batavia (Jakarta).

“Sepucuk Jambi, Sembilan Lurah”

Seloka ini tertulis di lambang Propinsi Jambi, menggambarkan luasnya wilayah Kesultanan Melayu Jambi yang merangkumi sembilan lurah dikala pemerintahan Orang Kayo Hitam, iaitu : VIII-IX Koto, Petajin, Muaro Sebo, Jebus, Aer Itam, Awin, Penegan, Miji dan Binikawan. Ada juga yang berpendapat bahwa wilayah Kesultanan Jambi dahulu meliputi 9 buah lurah yang dialiri oleh anak-anak sungai (batang), masing-masing bernama : 1. Batang Asai 2. Batang Merangin 3. Batang Masurai 4. Batang Tabir 5. Batang Senamat 6. Batang Jujuhan 7. Batang Bungo 8. Batang Tebo dan 9. Batang Tembesi. Batang-batang ini merupakan Anak Sungai Batanghari yang keseluruhannya itu merupakan wilayah Kesultanan Melayu Jambi.

Senarai Sultan Jambi (1790-1904)

1790 - 1812 Mas’ud Badruddin bin Ahmad Sultan Ratu Seri Ingalaga
1812 - 1833 Mahmud Muhieddin bin Ahmad Sultan Agung Seri Ingalaga
1833 - 1841 Muhammad Fakhruddin bin Mahmud Sultan Keramat
1841 - 1855 Abdul Rahman Nazaruddin bin Mahmud
1855 - 1858 Thaha Safiuddin bin Muhammad (1st time)
1858 - 1881 Ahmad Nazaruddin bin Mahmud
1881 - 1885 Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman
1885 - 1899 Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad
1900 - 1904 Thaha Safiuddin bin Muhammad (2nd time)

1904 Dihancurkan Belanda

Provinsi Jambi

Wilayah propinsi Jambi terbagi atas 1 Bandar Ibukota (Jambi) dan 9 daerah –mungkin agar sesuai seloka adat tadi-. Tetapi nama daerahnya telah bertukar, iaitu :

1. Muara Jambi –beribunegeri di Sengeti

2. Bungo –beribunegeri di Muaro Bungo

3. Tebo –beribunegeri di Muaro Tebo

4. Sarolangun –beribunegeri di Sarolangun Kota

5. Merangin/Bangko –beribunegeri di Kota Bangko

6. Batanghari –beribunegeri di Muara Bulian

7. Tanjung Jabung Barat –beribunegeri di Kuala Tungkal

8. Tanjung Jabung Timur –beribunegeri di Muara Sabak

9. Kerinci –beribunegeri di Sungai Penuh


SUMBER REFERENSI:http://sriandalas.multiply.com/journal/item/14

http://temenggungmerahmato.blogspot.com/